Ada
pendapat lain yang menerangkan arti Tasikmalaya, yaitu berasal darikata
"tasik" dan "laya", artinya "keusik ngalayah", maksudnya banyak pasir
di mana-mana, mengingatkan kejadian meletusnya Gunung Galunggung Oktober
1822, yang menyemburkan pasir panas ke arah Kota Tasikmalaya.
Keterangan kedua menyebutkan bahwa Tasikmalaya berasal dari kata "Tasik"
dan "Malaya". Tasik dalam bahasa Sunda berarti danau, laut dan Malaya
artinya nama deretan pegunungan di Pantai Malabar India.
Menurut
Buku Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Kabupaten Sukapura dan
keterangan R.Yudawikarta, bahwa Sareupeun Cibuniagung berputera Entol
Wiraha yang menikah dengan Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari
Negara Sukakerta, dan Entol Wiraha diangkat menjadi Umbul di Sukakerta.
Waktu Wirawangsa, putra Entol Wiraha menjadi umbul Sukakerta, Bupati
Wedana di Priangan dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.
Pada
tahun 1628/1629 Dipati Ukur mendapat perintah dari Sultan Agung untuk
menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram dibawah pimpinan
Tumenggung Bahurekso. Dipati Ukur membawa sembilan umbul (Pemimpin
Daerah), diantaranya umbul dari Sukakerta, Wirawangsa. Penyerangan yang
berakhir dengan kegagalan itu menyebabkan Dipati Ukur dikejar-kejar
tentara Mataram. Menurut salah satu versi dari penangkapan Dipati Ukur,
yaitu pendapat K.F. Holle; bahwa ada tiga umbul yang ikut dalam
penangkapan, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki
Astamanggala dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita.
Atas
jasa-jasanya, ketiganya diangkat menjadi mantri agung di tempatnya
masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi Mantri Agung Sukapura
dengan gelar Tumenggung Wiradadaha pada tahun 1674. R.Tg. Wiradadaha I
yang berjasa dalam mendirikan Kabupaten Sukapura wafat dan dimakamkan di
Pasir Baganjing. R.Tg. Wiradadaha I berputra 28 orang dan digantikan
oleh putranya yang ketiga, R. Djajamanggala dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha II, serta dikenal pula sebagai Dalem Tambela yang meninggal
pada tahun 1674. Sebagai penggantinya untuk menjadi bupati adalah
adiknya, R. Anggadipa, putra keempat R.Tg. Wiradadaha I, karena putra
Dalem Tambela yang berjumlah 8 orang belum cukup umur untuk
menggantikannya.
Nama
R. Anggadipa I setelah menjadi bupati diganti menjadi R.Tg. Wiradadaha
III yang memerintah dari tahun 1674 hingga 1723. Pada masa itu kemajuan
agama dipentingkan sekali, karena adanya anjuran dari Sjeh Abdul Muhyi
di Pamijahan yang menjadi perintis Agama Islam di Kabupaten Sukapura.
Dalam memegang pemerintahan, R.Tg. Wiradadaha III dibantu empat orang
puteranya yang masing-masing mempunyai pembagian kerja. Adanya pembagian
kerja ini membuat R.Tg. Wiradadaha III terkenal sebagai Bupati Sukapura
terkaya. Selain itu memiliki putra terbanyak 62 orang, sehingga lebih
dikenal dengan nama Dalem Sawidak.
Pada
tahun 1900 Bupati Sukapura XII, R.T. Wirahadiningrat yang memerintah
dari tahun 1875 hingga 1901 mendapat Bintang Oranye Nasau, dari
pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan namanya dikenal sebagai Dalem
Bintang. Pada tahun itu pula ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya
ke Tasikmalaya. Adapun yang melaksanakan perpindahan ibukota adalah
penggantinya, yaitu R.Tg. Wiriaadiningrat, Bupati Sukapura XIII. Ada
beberapa alasan dipindahkannya ibukota Kabupaten Sukapura ke
Tasikmalaya, di antaranya karena daerah Tasikmalaya yang lebih dekat ke
Galunggung termasuk daerah yang subur sehingga baik untuk penanaman
nila, disamping itu daerah kota Tasikmalaya lebih luas, datar dan indah
dibandingkan Manonjaya.
Pada
tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir diganti dengan pemerintahan
militer Jepang. Karena adanya peraturan pengumpulan beras dari
pemerintahan Jepang, pernah muncul pemberontakan para santri di
pasantren Sukamanah yang dipimpin seorang ulama besar, K.H.Z. Mustofa
yang dibela Bupati R.T. Wiradiputra.
Inilah sebagaian kecil dari catatan mengenai Sejarah Sukapura atau yang kini lebih dikenal dengan nama Tasikmalaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar