Senin, 25 November 2013

Sejarah Kawat Gigi : Dari Romawi Hingga Muda-mudi Masa Kini

Konon, pada sekira 400-500 SM, Hippocrates dan Aristoteles sudah memikirkan tentang bagaimana cara untuk meluruskan gigi dan memperbaiki berbagai kondisi gigi. Sementara itu, prekursor dari Roma telah mengubur mayat mereka dengan peralatan yang digunakan untuk mencegah tanggalnya gigi semasa hidup. Hingga kemudian para peneliti menemukan kawat ligatur yang pertama kali didokumentasikan pada sebuah makam Romawi di Mesir (Kaskus; Sejarah Perkembangan Kawat Gigi).
Kawat Gigi Alih Fungsi
Memang, kawat gigi atau biasa dikenal dengan behel (dental braces) adalah salah satu alat yang digunakan untuk meratakan gigi (Ensiklopedia Bebas). Behel termasuk ke dalam salah satu jenis perawatan ortodonti, yakni pengobatan yang ditujukan untuk mengoreksi letak gigi yang tidak beraturan atau menyesuaikan rahang atas dan bawah. Idealnya benda yang satu ini dipasang jika gigi tidak sehat, seperti bertumpuk, tidak lurus, tidak rata, atau gigi dengan rahang yang tidak normal.
Begitulah menurut ilmu medis soal fungsi sejati kawat gigi. Bahwa kemudian benda ini teralihfungsikan menjadi alat kecantikan dan gaya hidup (life style), terutama di kalangan muda-mudi perkotaan, saya juga kurang begitu paham. Barangkali ini adalah soal persepsi yang lagi-lagi serba relatif. Konstruksi pemikiran yang dibangun di masyarakat adalah bahwa seorang yang cantik atau rupawan adalah mereka yang memiliki gigi rata dan proporsional.
Kawat gigi adalah pemanis wajah. Memiliki gigi yang tidak maju (tonggos), tidak terlalu besar, atau terlalu kecil dengan segala aksesoris yang menghiasinya adalah cantik. Kita akan malu jika punya gigi yang tidak rapi, sehingga menjadi tidak cantik dan rupawan lagi. Barangkali jika satu persepsi yang dibangun adalah sebaliknya, bahwa yang tonggos adalah yang cantik dan rupawan, behel tidak akan mendapat banyak pengikut seperti sekarang.
Lalu bagaimana dengan life style muda-mudi masa kini? Satu lagi, selain aksesoris/alat kecantikan, kawat gigi juga adalah sebuah gaya hidup bahkan fesyen. Bukan remaja masa kini jika tidak memakai behel. Jangan mengaku-ngaku sebagai remaja urban kalo gak memagari giginya dengan kawat. Inilah budaya latah yang sungguh salah kaprah. Behel tidak lagi dipakai untuk orang yang tidak sehat giginya, lebih dari itu ia dipakai oleh remaja masa kini yang macho, cool, gaya, seksi, dan something. Lagi-lagi soal konstruksi persepsi.
Barangkali, jika Bung Karno masih ada, benda itu sudah dapat dipastikan dilarang dipakai. Bung Karno, pada zamannya, pernah melarang hadirnya musik genjrang-genjreng ala Inggris yang waktu itu dipopulerkan oleh Beatles. Ketika seantero jagat terserang ‘Beatles Fever’, Sang Pemimpin ini dengan tegas melarangnya berkembang di Indonesia. Muda-mudi yang sudah kadung terjangkit demam ini langsung divaksinasi. Media massa yang ikut latah menyebarkan virus ini juga tak luput dari pemberangusan. Inilah ketegasan soal prinsip.

SEJARAH TELEVISI

Pada tahun 1873 seorang operator telegram asal Valentia, Irlandia yang bernama Joseph May menemukan bahwa cahaya mempengaruhi resistansi elektris selenium. Ia menyadari itu bisa digunakan untuk mengubah cahaya kedalam arus listrik dengan menggunakan fotosel silenium (selenium photocell). Joseph May bersama Willoughby Smith (teknisi dari Telegraph Construction Maintenance Company) melakukan beberapa percobaan yang selanjutnya dilaporkan pada Journal of The Society of Telegraph Engineers. Hal ini merupakan embrio dari teknologi perekaman gambar.
Setelah beberapa kurun waktu lamanya kemudian diciptakan sebuah piringan metal kecil yang bisa berputar dengan lubang-lubang didalamnya oleh seorang mahasiswa yang bernama Julius Paul Gottlieb Nipkow (1860-1940) atau lebih dikenal Paul Nipkow di Berlin, Jerman pada tahun 1884 dan disebut sebagai cikal bakal lahirnya televisi. Sekitar tahun 1920 John Logie Baird (1888-1946) dan Charles Francis Jenkins (1867- 1934) menggunakan piringan karya Paul Nipkow untuk menciptakan suatu sistem dalam penangkapan gambar, transmisi, serta penerimaannya. Mereka membuat seluruh sistem televisi ini berdasarkan sistem gerakan mekanik, baik dalam penyiaran maupun penerimaannya. Pada waktu itu belum ditemukan komponen listrik tabung hampa (Cathode Ray Tube)



Televisi elektronik agak tersendat perkembangannya pada tahun-tahun itu, lebih banyak disebabkan karena televisi mekanik lebih murah dan tahan banting. Bukan itu saja, tetapi juga sangat susah untuk mendapatkan dukungan finansial bagi riset TV elektronik ketika TV mekanik dianggap sudah mampu bekerja dengan sangat baiknya pada masa itu. Sampai akhirnya Vladimir Kosmo Zworykin (1889-1982) dan Philo T. Farnsworth (1906-1971) berhasil dengan TV elektroniknya. Dengan biaya yang murah dan hasilnya berjalan baik, maka orang-orang pada waktu itu berangsur-angsur mulai meninggalkan tv mekanik dan menggantinya dengan tv elektronik.
Vladimir Zworykin, yang merupakan salah satu dari beberapa pakar pada masa itu, mendapat bantuan dari David Sarnoff (1891-1971), Senior Vice President dari RCA (Radio Corporation of America). Sarnoff sudah banyak mencurahkan perhatian pada perkembangan TV mekanik, dan meramalkan TV elektronik akan mempunyai masa depan komersial yang lebih baik. Selain itu, Philo Farnsworth juga berhasil mendapatkan sponsor untuk mendukung idenya dan ikut berkompetisi dengan Vladimir.

TV ELEKTRONIK
Baik Farnsworth, maupun Zworykin, bekerja terpisah, dan keduanya berhasil dalam membuat kemajuan bagi TV secara komersial dengan biaya yang sangat terjangkau. Di tahun 1935, keduanya mulai memancarkan siaran dengan menggunakan sistem yang sepenuhnya elektronik. Kompetitor utama mereka adalah Baird Television, yang sudah terlebih dahulu melakukan siaran sejak 1928, dengan menggunakan sistem mekanik seluruhnya. Pada saat itu sangat sedikit orang yang mempunyai televisi, dan yang mereka punyai umumnya berkualitas seadanya. Pada masa itu ukuran layar TV hanya sekitar tiga sampai delapan inchi saja sehingga persaingan mekanik dan elektronik tidak begitu nyata, tetapi kompetisi itu ada disana.

TV RCA, Tipe TT5 1939, RCA dan Zworykin siap untuk program reguler televisinya, dan mereka mendemonstrasikan secara besar-besaran pada World Fair di New York. Antusias masyarakat yang begitu besar terhadap sistem elektronik ini, menyebabkan the National Television Standards Committee [NTSC], 1941, memutuskan sudah saatnya untuk menstandarisasikan sistem transmisi siaran televisi di Amerika. Lima bulan kemudian, seluruh stasiun televisi Amerika yang berjumlah 22 buah itu, sudah mengkonversikan sistemnya kedalam standard elektronik baru.
Pada tahun-tahun pertama, ketika sedang resesi ekonomi dunia, harga satu set televisi sangat mahal. Ketika harganya mulai turun, Amerika terlibat perang dunia ke dua. Setelah perang usai, televisi masuk dalam era emasnya. Sayangnya pada masa itu semua orang hanya dapat menyaksikannya dalam format warna hitam putih.

TV BERWARNA
Sebenarnya CBS sudah lebih dahulu membangun sistem warnanya beberapa tahun sebelum rivalnya RCA. Tetapi sistem mereka tidak kompatibel dengan kebanyakan TV hitam putih diseluruh negara. CBS yang sudah mengeluarkan banyak sekali biaya untuk sistem warna mereka harus menyadari kenyataan bahwa pekerjaan mereka berakhir sia-sia. Belajar dari pengalaman CBS, RCA mulai membangun sistem warna menurut formatnya sendiri. Mereka dengan cepat membuat sistem warna yang mampu untuk diterima pada sistem warna maupun hitam putih. Setelah RCA memperlihatkan kemampuan sistem mereka, format NTSC kemudian dijadikan acuan standart untuk siaran komersial pada tahun 1953.
Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan teknologi, televisi dari waktu ke waktu mulai banyak perbaikan dan penambahan dari sisi teknologinya. Untuk waktu kedepan televisi perlahan mulai meninggalkan teknologi analog dan menginjak ke era yang disebut televisi digital dengan kemampuan dan kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya yang lazim disebut dengan teknologi IPTV [Internet Protocol Television].
John Logie Baird mendemonstrasikan kamera televisi pertamanya di Science Museum, London.



SEJARAH KAMERA

Sejarah Kamera
Kamera Obscura
Foto: io-noi-aldo.sonance.net
Sejarah Kamera
Delapan Jam Untuk Satu Foto!
 
Kamera kini ada di mana-mana dan semakin mudah dipakai. Bagaimana sejarah lahirnya kamera?
Liburan memang menyenangkan. Saat-saat seperti itu harus diabadikan supaya bisa dikenang terus. Caranya bisa dengan merekam lewat video atau kamera. Kini siapa saja bisa mengabadikan saat-saat mengasyikkan. Soalnya hampir setiap handphone  kini ada kameranya. Berbicara tentang kamera, bagaimana, ya, sejarahnya? Karto/XY-Kids!
 
Kamera Obscura
Kamera pertama yang tercatat dalam sejarah adalah kamera obscura. Obscura  berasa dari bahasa Latin yang berarti ruang gelap. Kamera ini berbentuk ruangan khusus. Di dalamnya dipantulkan cahaya yang terdiri dari dua lensa konveks. Kamera ini dikembangkan pertama kali oleh Alhazen antara tahun 965-1039 Setelah Masehi. Namun, sebenarnya cara kerja kamera ini sudah ada sejak 470-390 Sebelum Masehi yang ditemukan oleh seorang filsuf China, Mozi.

Kamera Portable Obscura
Pada tahun 1960-an, seorang peneliti Inggris, Robert Boyle dan pembantunya Robert Hooke, menemukan kamera portable  (bisa dipindah-pindah) obscura. Penemuan mereka ini disempurnakan lagi oleh Johann Zahn tahun 1685. Kamera ini sering kita lihat di film-film bertema jaman dahulu. Kamera ini memakai lampu kliat yang meledak dan mengeluarkan asap.
Merekam Gambar
Orang yang berjasa menyempurnakan kamera adalah Jacques Daguerre. Tahun 1837, dia mengembangkan cara membuat foto, yang kemudian disebut daguerreotype . Prosesnya menggunakan lempengan copper  (tembaga). Daguerre adalah seniman asal Perancis yang ingin membuat gambar lebih bagus. Dia bekerjasama dengan Joseph Nicephore Niepce yang lebih dahulu sukses. Niepce sebenarnya sudah membuat foto di tahun 1826. Tapi proses pembuatan foto ini tidak praktis. Orang harus bergaya di depan kamera selama 8 jam untuk menghasilkan satu foto. Hasilnya pun masih buram. Meski begitu, mereka kemudian memberitahukan penemuan itu ke masyarakat. Sebagai jasanya, pemerintah Perancis memberi pensiun seumur hidup kepada Daguerre dan anak Niepce. Niepce tidak menerima penghargaan itu karena sudah meninggal lebih dulu.
 
Cetak Banyak
Penemuan  Daguerre luar biasa, meski cuma bisa mencetak satu kali. Kemudian muncul teknologi baru calotype  yang bisa memperbanyak foto lewat kertas film negatif. Teknologi ini ditemukan William Fox Talbot dari Inggris tahun 1844. Meski cetakannya tidak sebagus foto Daguerre, tapi dia bisa memperbanyak hasilnya.

Cetak Cepat
Setelah Daguerre dan William Talbot, tahun 1852 Frederick Scott Archer membuat temuan mencetak foto lebih cepat. Hanya dalam waktu kurang dari lima detik, foto udah tercetak. Prosesnya, gambar sudah dicetak ketika plat masih basah. Teknik ini dinamakan collodion . 
 
Bahan gelatin
Tahun 1871, Richard Maddox menemukan gelatin, sebuah bahan untuk mencetak foto. Bahan ini menggantikan plat fotografik. Dengan penemuannya ini, gambar bisa dicetak lebih banyak dan kualitasnya lebih bagus. Ketika itu, kamera sudah ada yang lebih handy  alias bisa ditenteng.
Abad ke-20
Memasuki abad ke-20, penemuan di bidang kamera terus berlanjut. Misalnya ditemukannya film berwarna tahun 1901. Setelah itu, film berwarna berlapis yang disebut Kodachrome ditemukan. Kodak juga menemukan film berukuran 35 mm yang sangat populer itu. Belakangan ditemukan lagi kamera digital.

SEJARAH RADIO

sejarah ditemukannya radio

Sejarah radio di dunia
Radio adalah teknologi yang digunakan untuk pengiriman sinyal dengan cara modulasi dan radiasi elektromagnetik (gelombang elektromagnetik). Gelombang ini melintas dan merambat lewat udara dan bisa juga merambat lewat ruang angkasa yang hampa udara, karena gelombang ini tidak memerlukan medium pengangkut (seperti molekul udara).
Gelombang radio adalah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik, dan terbentuk ketika objek bermuatan listrik dimodulasi (dinaikkan frekuensinya) pada frekuensi yang terdapat dalam frekuensi gelombang radio (RF) dalam suatu spektrum elektromagnetik. Gelombang radio ini berada pada jangkauan frekuensi 10 hertz (Hz) sampai beberapa gigahertz (GHz), dan radiasi elektromagnetiknya bergerak dengan cara osilasi elektrik maupun magnetik.
Gelombang elektromagnetik lainnya, yang memiliki frekuensi di atas gelombang radio meliputi sinar gamma, sinar-X, inframerah, ultraviolet, dan cahaya terlihat. Ketika gelombang radio dipancarkan melalui kabel, osilasi dari medan listrik dan magnetik tersebut dinyatakan dalam bentuk arus bolak-balik dan voltase di dalam kabel. Hal ini kemudian dapat diubah menjadi signal audio atau lainnya yang membawa informasi.
Meskipun kata ‘radio’ digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan alat penerima gelombang suara, namun transmisi gelombangnya dipakai sebagai dasar gelombang pada televisi, radio, radar dan telepon genggam pada umumnya.
Dasar teori dari perambatan gelombang elektromagnetik pertama kali dijelaskan pada 1873 oleh James Clerk Maxwell dalam papernya di Royal Society mengenai teori dinamika medan elektromagnetik (dalam bahasa Inggris: A dynamical theory of the electromagnetic field), berdasarkan hasil kerja penelitiannya antara 1861 dan 1865.
Pada 1878, David E. Hughes adalah orang pertama yang mengirimkan dan menerima gelombang radio ketika dia menemukan bahwa keseimbangan induksinya menyebabkan gangguan ke telepon buatannya. Dia mendemonstrasikan penemuannya kepada Royal Society pada 1880 tapi hanya dibilang itu cuma merupakan induksi.
Adalah Heinrich Rudolf Hertz yang, antara 1886 dan 1888, pertama kali membuktikan teori Maxwell melalui eksperimen, memperagakan bahwa radiasi radio memiliki seluruh properti gelombang (sekarang disebut gelombang Hertzian), dan menemukan bahwa persamaan elektromagnetik dapat diformulasikan ke persamaan turunan partial disebut persamaan gelombang.
Banyak penggunaan awal radio adalah maritim, untuk mengirimkan pesan telegraf menggunakan kode Morse antara kapal dan darat. Salah satu pengguna awal termasuk Angkatan Laut Jepang memata-matai armada Rusia pada saat Perang Tsushima pada tahun 1901. Salah satu penggunaan yang paling dikenang adalah pada saat tenggelamnya RMS Titanic pada tahun 1912, termasuk komunikasi antara operator di kapal yang tenggelam dan kapal terdekat, dan komunikasi ke stasiun darat mendaftar yang terselamatkan.
Radio digunakan untuk menyalurkan perintah dan komunikasi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut di kedua pihak pada Perang Dunia II; Jerman menggunakan komunikasi radio untuk pesan diplomatik ketika kabel bawah lautnya dipotong oleh Britania. Amerika Serikat menyampaikan Empat belas Pokok PresidenWoodrow Wilson kepada Jerman melalui radio ketika perang.
Siaran mulai dapat dilakukan pada 1920-an, dengan populernya pesawat radio, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Selain siaran, siaran titik-ke-titik, termasuk telepon dan siaran ulang program radio, menjadi populer pada 1920-an dan 1930-an.

SEJARAH KIPAS ANGIN

Sejarah Ditemukannya Kipas Angin

Wah, di luar udaranya panas sekali. Ayo cepat kita nyalakan kipas angin...!! Pada saat cuaca panas dan gerah, kipas angin memang selalu menjadi andalan untuk menyegarkan badan. Tapi, apakah teman-teman tahu bagaimana awal mula kipas angin ditemukan? Yuk kita telusuri sejarahnya.

Ternyata kipas angin sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu loh. Kipas angin digunakan oleh beberapa negara di dunia seperti Mesir, Yunani, Roma, dan Cina. Kipas angin pertama kali ditemukan 4000 tahun yang lalu pada sebuah makam raja Mesir yaitu Raja Tutankhamen yang digali pada tahun 1922. Fungsi kipas pada saat itu adalah sebagai alat upacara keagamaan dan merupakan benda yang sangat sakral dan suci.

Pada waktu itu hanya raja dan permaisuri saja yang bisa memilikinya.  Kipas angin yang ditemukan di makam raja Mesir itu ada dua buah. Salah satu kipas angin tersebut gagangnya dilapisi oleh emas dan terbuat dari bulu burung unta, sedangkan yang satu lagi dilapisi eboni dengan emas dan batu-batu berharga. Wah, mewah banget ya temen-temen?



Perkembangan kipas angin dimulai pada abad ke-15 di Eropa, tepatnya di Italia. Saat itu, kegunaan dari kipas adalah sebagai produk perdagangan yang memiliki nilai seni tinggi. Kipas angin disimbolkan sebagai kemakmuran dan kelas sosial seseorang. Mungkin karena kemewahannya itu ya. Pada abad ke-16 hingga abad ke-18, kipas angin mengalami perubahan fungsi menjadi produk fashion dan sangat popular saat itu. Kemudian pada abad ke 20 kipas angin sudah tidak lagi sebagai sebuah produk fashion namun menjadi alat periklanan. Sedangkan di Spanyol, kipas angin menjadi alat untuk mendinginkan udara karena Spanyol memiliki iklim yang panas.

Pada tahun 1860-an masyarakat mulai mengenal kipas angin yang berbentuk kipas angin atap. Kipas angin elektrik baru dikenal oleh masyarakat pada tahun 1880-an. Kemudian kipas angin listrik pertama kali diperkenalkan oleh Schuyler Skaats Wheeler pada tahun 1882. Wheeler membuat kipas angin listrik pertamanya dengan dua buah baling-baling yang digerakkan oleh sebuah motor bertenaga listrik.

Selanjutnya, kipas angin dikembangkan dan dipatenkan hak ciptanya oleh ilmuwan bernama Philip H. Diehl pada tahun 1887. Diehl memperkenalkan kipas angin yang menempel pada langit-langit rumah. Ide ini kemudian menjadi dasar penemuan kipas angin yang dapat bergerak ke sana-kemari. Perkembangan kipas angin terus berlanjut hingga menjadi model yang banyak kita temui saat ini.

Sumber gambar: golden-goldmaster.blogspot.com; pandri-16.blogspot.com

SEJARAH UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA

berdiri tanggal 20 Mei 1978 bersamaan dengan peletakan batu pertama Kampus Universitas Siliwangi oleh Pangdam VI Siliwangi saat itu mayor Jenderal Himawan Susanto. Cikal bakal pendirian Universitas Siliwangi adalah ketika beberapa tokoh masyarakat di Tasikmalaya berinisiatif mendirikan Perguruan Tinggi pengganti cabang dari kedua PTN yang pernah berdiri di Tasikmalaya dan operasionalnya ditutup saat itu karena adanya Peraturan Pemerintah yang tidak memperkenankan berdirinya cabang di daerah yakni Universitas Padjadjaran dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung dalam bentuk Community College yang kemudian berganti nama menjadi Akademi Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Akademi ADSUP) pada tanggal 24 Januari 1978.



Untuk menangani penyelenggaraannya, maka dibentuk Yayasan Badan Hukum Pembina dan Penyelenggara yaitu Yayasan Universitas Siliwangi yang dikukuhkan melalui Akte Notaris Komar Andasasmita No. 1 tanggal 1 Oktober 1979. Selanjutnya penggunaan nama Universitas Siliwangi dikukuhkan dan diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1980 oleh Menteri Dalam Negeri RI saat itu H. Amir Machmud.
Dalam perkembangannya pada tanggal 22 April 1980 diselenggarakan pertemuan antara Pengurus Harian BPC Siliwangi Pusat, Yayasan Pendidikan Angkatan 45, Veteran Cabang Tasikmalaya, Ciawi dan Panitia Pelaksana Pembangunan Kampus Universitas Siliwangi yang menghasilkan kesepakatan untuk menyelenggarakan Simposium  dengan tema meletakkan Dasar-Dasar Citra Universitas Siliwangi. Selanjutnya pada tanggal 13 Mei 1980 bertempat di Gedung Kertamukti Bandung diselenggarakan Simposium dimaksud dan menghasilkan konsep Trigatra Citra Universitas Siliwangi yang redaksional dan pengelompokkannya disempurnakan oleh Prof. Dr. H. Didi Atmadilaga.
Kemudian melalui SK Ketua Badan Pengurusan Universitas Siliwangi Nomor Skep.002/BPC-US/1/1981 tanggal 31 Januari 1981 naskah Trigatra Citra Universitas Siliwangi tersebut disyahkan dan melalui SK Nomor Skep.003/BPC-US/1/1981 tanggal 31 Januari 1981 lambang Universitas Siliwangi disyahkan pula.
Pada tahun 1980 ADSUP Siliwangi berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi dan pada tahun yang sama dibuka STIE Siliwangi. Pada tahun 1982/1983 dibuka Fakultas Eko-Teknologi yang dalam perjalanannya berubah menjadi Fakultas Pertanian. Pendirian Fakultas Pertanian ini adalah sebagai upaya memenuhi prasyarat minimal disyahkannya Universitas Siliwiangi.
Pada tanggal 26 April 1982 Ketua Badan Pengurus Yayasan Universitas Siliwangi mengajukan perubahan bentuk STKIP Siliwangi menjadi Universitas Siliwangi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. Pada tanggal 18 Mei 1982 dilaksanakan serah terima STKIP Siliwangi dari Yayasan Pendidikan 45 Tasikmalaya kepada Yayasan Universitas Siliwangi. Kemudian pada tanggal 6 Mei 1983 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0231/0/1983 akhirnya STKIP Siliwangi berubah menjadi UNIVERSITAS SILIWANGI.
Dalam rentang perjalanan waktu sampai tahun 2013 ini Universitas Siliwangi
mengelola beberapa Fakultas/Program Studi sebagai berikut :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, membina sembilan program studi jenjang S1, yaitu Pendidikan Luar Sekolah, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Geografi, Pendidikan Sejarah, dan Pendidikan Jasmani Kesehatan danRekreasi;
Fakultas Ekonomi, membina tiga program studi jenjang S1, yaitu Program Studi
Ekonomi Pembangunan, Program Studi Manajemen, Program Studi Akuntansi, serta
satu program studi jenjang D3 yaitu Program Studi Manajemen Keuangan dan
Perbankan;
  • Fakultas Pertanian, membina dua program studi jenjang S1 yaitu Program Studi Agroteknologi dan Program Studi Agribisnis;
  • Fakultas Teknik, membina tiga program studi jenjang S1 yaitu Program Studi Teknik Sipil, Program Studi Teknik Elektro, dan Program Studi Teknik Informatika;
  • Fakultas Agama Islam, membina satu program studi jenjang S1 yaitu Program Studi Ekonomi Syariah;
  • Fakultas Ilmu Kesehatan membina satu program studi jenjang S1 yaitu Program Studi Kesehatan Masyarakat.
  • Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, membina satu program studi jenjang S1 yaitu Program Studi Ilmu Politik; dan
  • Program Pascasarjana, membina tiga program studi jenjang S2 yaitu Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), Program Studi Ekonomi Pertanian (Agribisnis) dan Program Studi Manajemen (MM).

Napak Tilas Sejarah Tasikmalaya


Tasik tempo dulu
alun-alun dulu tempo duluDimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.


kerajaan tasik
Sebelum ibukota Kabupaten Sukapura berkedudukan di Tasikmalaya, kota ini merupakan sebuah afdeeling yang diperintah oleh seorang Patih Lurah (Zelfstandige Patih). Waktu itu namanya Tawang atau Galunggung. Sering juga penyebutannya disatukan menjadi Tawang-Galunggung. Tawang sama dengan “sawah” artinya tempat yang luas terbuka, dalam Bahasa Sunda berarti “palalangon”. Ada pendapat lain yang menerangkan arti Tasikmalaya, yaitu berasal dari kata “tasik” dan “laya”, artinya “keusik ngalayah”, maksudnya banyak pasir di mana-mana, mengingatkan kejadian meletusnya Gunung Galunggung Oktober 1822, yang menyemburkan pasir panas ke arah Kota Tasikmalaya. Keterangan kedua menyebutkan bahwa Tasikmalaya berasal dari kata “Tasik” dan “Malaya”. Tasik dalam bahasa Sunda berarti danau, laut dan Malaya artinya nama deretan pegunungan di Pantai Malabar India.
Menurut Buku Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Kabupaten Sukapura dan keterangan R.Yudawikarta, bahwa Sareupeun Cibuniagung berputera Entol Wiraha yang menikah dengan Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari Negara Sukakerta, dan Entol Wiraha diangkat menjadi Umbul di Sukakerta. Waktu Wirawangsa, putra Entol Wiraha menjadi umbul Sukakerta, Bupati Wedana di Priangan dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.

Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.

Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.

Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.

Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.
Pada tahun 1900 Bupati Sukapura XII, R.T. Wirahadiningrat yang memerintah dari tahun 1875 hingga 1901 mendapat Bintang Oranye Nasau, dari pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan namanya dikenal sebagai Dalem Bintang. Pada tahun itu pula ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Adapun yang melaksanakan perpindahan ibukota adalah penggantinya, yaitu R.Tg. Wiriaadiningrat, Bupati Sukapura XIII. Ada beberapa alasan dipindahkannya ibukota Kabupaten Sukapura ke Tasikmalaya, di antaranya karena daerah Tasikmalaya yang lebih dekat ke Galunggung termasuk daerah yang subur sehingga baik untuk penanaman nila, disamping itu daerah kota Tasikmalaya lebih luas, datar dan indah dibandingkan Manonjaya.
Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.
Pada tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir diganti dengan pemerintahan militer Jepang. Karena adanya peraturan pengumpulan beras dari pemerintahan Jepang, pernah muncul pemberontakan para santri di pasantren Sukamanah yang dipimpin seorang ulama besar, K.H.Z. Mustofa yang dibela Bupati R.T. Wiradiputra.
Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.

PERISTIWA PENTING
Dalam perjalanannya Tasikmalaya mencatat beberapa peristiwa penting bersejarah antara lain :
1. Pemberontakan melawan penjajahan Jepang yang dipimpin oleh K.H.Zaenal Mustofa di Singaparna.
2. Pelucutan senjata KOMPETAI oleh para pemuda.
3. Penerbangan pertama dengan pesawat terbang yang menggunakan bendera merah putih dari Pangkalan Udara Cibeureum dilakukan oleh pilot Adi Sutjipto dan Basyir Surya.
4. Lahirnya Divisi Siliwangi
5. Pemberangkatan Hijrah ke Yogyakarta
6. Pusat Pemerintahan Jawa Barat di pengungsian di Cipicung Culamega.
7. Kongres pertama Koperasi Indonesia yang melahirkan Hari Koperasi 12 Juli.
8 Lahirnya konsep pertahanan keamanan rakyat semesata (HANKAMRATA).

Selain itu ada beberapa peristiwa penting yang patut diketahui antara lain :
1. Peristiwa meledaknya pabrik mesiu DAHANA tanggal 5 Maret 1976.
2. Meletusnya Gunung Galunggung tanggal 5 April 1982.
3. Penganugerahan PARASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA pada akhir Pelita IV tahun 1989.
4. Sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan pertanian, koperasi dan Keluarga Berencana (PERTASI KENCANA) Tingkat Nasional tahun 1994.
5. Terjadinya kerusuhan 26 Desember 1996 yang dikenal dengan peristiwa Desember kelabu.
6. Sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan pertemuan petani se Indonesia dan Asia Tenggara (PENAS) Tingkat Nasional tahun 2002

Prestasi baik di tingkat Nasional maupun internasional, antara lain Solihin, Susi Susanti, Lidya Jaelawijaya, Lamting di bidang olah raga, Abdul Rodjak dan Mak Eroh sebagai perintis lingkungan hidup yang telah mendapatkan penghargaan Kalpataru, dan sejumlah 8 orang pengrajin yang berhasil memperoleh penghargaan Upakarti, prestasi dibidang MTQ, serta prestasi lainnya.
Di bidang kesenian, Tasikmalaya telah pula melahirkan seniman-seniman tingkat nasional, seperti Budayawan Wahyu Wibisana, dan artis- artis nasional.

Sejarah Singkat Garuda Indonesia

Pada tanggal 26 Januari 1949 pesawat Dakota RI-001 Seulawah diterbangkan dari Calcutta menuju Rangoon untuk melaksanakan misi niaganya yang pertama kali. Itulah perusahaan pembawa bendera negara Republik Indonesia pertama yang mengudara di angkasa jagad raya.

Peristiwa tersebut telah dijadikan sebagai hari lahirnya Garuda Indonesia yang baru dapat beroperasi pada tanggal 1 Maret 1950 dengan sejumlah pesawat yang diterima pemerintah Republik Indonesia dari perusahaan penerbangan KLM.
Armada Garuda Indonesia yang pertama untuk melayani jaringan penerbangan di dalam negeri terdiri dari 20 pesawat DC-3/C-47 dan 8 pesawat jenis PBY Catalina Amphibi. Untuk melebarkan sayapnya, Garuda kemudian mengadakan pembaruan armadanya yang tiba antara bulan Oktober 1950 dan Februari 1958 sehingga menjadi : DC 3/C-47 20 pesawat, Convair liner 240 8 pesawat, Convair liner- 340 8 pesawat, Convair liner 440 8 pesawat, De Haviland Heron 14 pesawat.
Jaringan penerbangan Garuda Indonesia kemudian diperluas meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia kecuali Irian Jaya sedangkan ke luar negeri menjangkau kota kota Singapura, Bangkok, dan Manila. Disebabkan alasan teknis maka seluruh pesawat De Haviland Heron di hapus dari kekuatan armada Garuda. Selanjutnya antara tahun 1960 dan 1966 Garuda Indonesia mendapatkan tambahan armadanya lagi berupa pesawat pesawat bermesin jet seperti : Convair liner 990 A 3 pesawat, Lockheed Electra L188C 3 pesawat, Douglas DC-8-55 1 pesawat.
Garuda semakin berkembang dan seluruh pesawatnya kemudian terdiri dari pesawat bermesin jet. Kekuatan armadanya berturut turut ditambah dengan tipe tipe pesawat seperti; Douglas DC-10, Boeing B-747, Airbus A-300, dan A-330.
Kegiatan Garuda lainnya adalah mengangkut ribuan jemaah haji setiap tahunnya. Selain itu Garuda Indonesia juga merupakan sarana angkutan bagi kunjungan resmi Kepala Negara ke berbagai negara.
Sebagai perusahaan penerbangan pembawa bendera bangsa nasional, Garuda Indonesia berjuang sekuat tenaga dalam menegakkan citra bangsa dan negara melalui pelayanannya. Kini jaringan penerbangan Garuda Indonesia telah menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia, sedangkan keluar negeri meliputi kota kota di benua Asia, Australia dan Eropa.

Sejarah Perkembangan Seni Tari Tradisional Jawa Barat (Jaipong)

ndonesia bukan hanya kaya dengan budaya tapi juga kaya dengan berbagai macam kesenian, salah satunya seni tari jaipong atau jaipongan yang berasal dari jawa barat. Berikut ini adalah penjelasan lengkap mengenai tari jaipong, mulai dari pengertian tari jaipong, sejarah tari jaipong dan perkembangan Tari jaipong.
tari jaipong

Jaipongan adalah sebuah aliran seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
Menyebut Jaipongan sebenarnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.
Sejarah Tari Jaipong
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu / Doger / Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu / Doger / Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
tari jaipong

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan Tari Jaipong
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya “kaleran” (utara).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan dan tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong.
Semoga seni tari jaipong ini bisa tetap lestari di Indonesia kita tercinta ini dan jangan sampai diklaim oleh negara lain. Jangan lupa baca juga seni tari Gambyong yang merupakan seni tari dari Jawa Tengah yaitu Surakarta.

SEJARAH UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA

Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Lamaran dilaksanakan oleh orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinangkomplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak wajib harus dibawa. Misalnya dibawa, biasanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
Tunangan, dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si pihak wanita.
Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa pakaian, uang, perabot rumah tangga, makanan, dan lain-lain. 
Ngeuyeuk seureuh Dipimpin pengeuyeuk. Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya. Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup sejahtera. dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja. Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.
Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria). Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadisatu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga. Upacara Prosesi Pernikahan Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
 

 Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah. Sungkeman,Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantindipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinyadicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan.

Sejarah Gamelan Degung

Gamelan Degung adalah salah satu perangkat dari sekian perangkat gamelan karawitan sunda yang ada di daerah provinsi Jawa Barat Negara Indonesia. Istilah gamelan menunjukan pada istilah yang Jamak, yakni terdiri dari beberapa alat /waditra/instrument, yang mana menunjukan pula dalam istilah sunda disebut Tatabeuhan, baik pada alat atau waditra yang dipukul, digesek, digesek, digetar (digoyang), maupun cara khusus membunyikan lainnya sesuai karakteristik alat yang diperlukan dalam sebuah komposisi musikal.
Secara etimologis (Asal-usul bahasa) bahwa gamelan berasal dari bahasa Jawa dan Bali, yaitu dari kata dasar “Gamel” yang artinya pukul atau tabuh; dan memang pada kenyataanya, gamelan merupakan alat bunyi-bunyian dalam satu unit yang terdiri dari sebagian besar alat yang membunikannya dengan cara dipukul, seperti diantaranya adalah gamelan degung.

Sejarah Gamelan Degung

Istilah Degung berawal dari perangkat waditra (instument) pukul berbentuk enam buah penclon (Sedikit lebih kecil dari kempul), digantungkan secara berderet pada rancak khusus. Sampai sekarang nama perangkat gamelan tersebut dikenal dengan sebutan Gamelan Degung.
Pada mulanya gamelan degung hanya dipergunakan dilingkungan kaum bangsawan. Salah seorang penggembarnya adalah R.A.A Wiranatah Kusumah, yakni bupati bandung jawabarat Indonesia sebelum perang dunia kedua, Salah saru lagu atau gending yang direkam dari gamelan degung miliknya, kini sering dipergunakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung, untuk memberi info pembacaan berita daerah.
Pada zaman penjajahan Belanda diseluruh kabupaten bandung terdapat 5 perangkat gamelan degung. Di Kabupaten lain di Jawa Barat diantaranya terdapat di Sumedang satu perangkat gamelan degung, di Cianjur Lima perangkat gamelan degung, dan di Tasikmalaya dua perangkat gamelan degung.
Karena gamelan degung digemari oleh ratu panggung Bupati maka timbulah anggapan bahwa istilah degung berasal dari kata “Ratu Agung” atau Tumenggung yaitu Gelar Bupati pada zaman dahulu. Gamelan Degung dapat dikatakan sebagai gamelan khas pasundan jawa barat Indonesia, yang tentang kapan awal keberadaanya, dimana, dan siapa penciptanya sampai sekarang tidak ada keterangan yang jelas. Semuala susunan waditra gamelan degung sangat sederhana, yaitu tanpa menggunakan suling, peking, kendang dan alat pendukung lain seperti kacapi yang sering ditemui pada sajian gamelan degung sekarang. Reportoar lagu atau gendingnyapun masih terbatas, antara lain lagu Ayun Ambing, Bale Bandung, dan Galatik Manggut.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A Wiranata Kusumah yang mendapat julukan Dalem Haji. Susunan waditra gamelan degung dilengkapi dengan suling, kendang, dan peking. Inisiatif tersebut atas usaha kreativitas Abah Ijam bersama putra-putranya, Yakni Abah Idi, Abah Ojo, dan Abah Atma. Adapun para Wiyaga (Pemain gamelan degung) yang sudah dikenal sebelum penambahan waditra gamelan degung tersebut antara lain : Abah Emus, Abah Darma, Abah Dira, Abah Muhadi, Abah Asma Andut, Abah Emad, Abah Asmadi, Anah Adikarta, Abah Sutarma Adis, dan Abah Emung. Di Tasikmalaya pimpinan gamelan degung Kabupaten pada waktu itu Abah Iwi, dan di Cianjur Abah Ahim.
Pada tahun 20-an perkembangan Gamelan Degung dan perhatiannya semakin meningkat, sehingga orang yang dapat memainkan gamelan degungmemiliki kebanggaan tersendiri. Juru gending yang dikenalpun semakin bertambah, antara lain adalah : Abah jono, Abah Salnapi, Abah Sumanta, Abah Karta Eben, Abah Djamhuri, Bapak Tarya, Bapak Enas, dan Bapak Uye. Mereka bergabung dalam suatu perkumpulan bernama “Purba Sasaka Pamager Sari”, Pada Zaman merekalah reportoar karya gamelan degung semakin bertambah.
Bersambung ”

Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia

Di Indonesia terkenal dengan  penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam, budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak.
Sejarah masuknya islam awalnya ddi bawa oleh pedagang gujarat lalu di ikuti oleh pedagang arab dan persia.  Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia.
Banyak yang berspekulasi jika islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut terdapat perkampungan islam di sekitar selat malaka.
Selain pedagang ada juga dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh para walisongo.  Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan cara pendekatan sosial budaya.
Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau jawa dengan  di temukannya makam fatimah binti maimun bin hibatullah. Di mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno.  Di perikan makam ini adaalah makam para keluarga istana majapahit.
Di kalimantan, islam masuk melalui pontianak pada abad 18.  Di hulu sungai pawan, kalimantan barat di temukan pemakaman islam kuno.  Di kalimantan timur islam masuk melalui keraajaan kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kotawaringin yang di bangun pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-tallo.
Demikian sedikit penjelasan tentang sejarah islam masuk ke indonesia.  Kita harus bangga dengan para ulama yang telah menyebarkan aagama islam di indonesia tanpa adanya perang.  Dengan peran para ulama yang bijaksana, agama islam dengan mudah di terima di seluruh nusantara.

Sejarah Ka'bah Dari masa ke masa


Awalnya, Mekkah hanyalah sebuah hamparan kosong. Sejauh mata memandang pasir bergumul di tengah terik menyengat. Aliran zamzamlah yang pertama kali mengubah wilayah gersang itu menjadi sebuah komunitas kecil tempat dimulainya peradaban baru dunia Islam.
Bangunan persegi bernama Ka’bah didaulat menjadi pusat dari kota itu sekaligus pusat ibadah seluruh umat Islam. Mengunjunginya adalah salah satu dari rukun Islam, Ibadah Haji.
Ka’bah masih tetap berdiri kokoh hingga saat ini dan diperkirakan masih terus berdiri hingga kiamat menjelang. Beberapa generasi pernah menjadi saksi berdirinya Ka’bah hingga berbagai kemelut menyelimutinya.
Adalah Ismail, putra Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, yang kaki mungilnya pertama kali menyentuh sumber mata air zamzam. Akibat penemuan mata air abadi ini, Siti Hajar dan Ismail yang kala itu ditinggal oleh Ibrahim ke Kanaan di tengah padang, tiba-tiba kedatangan banyak musafir. Beberapa memutuskan untuk tinggal, beberapa lagi beranjak.
Ibrahim datang dan kemudian mendapatkan wahyu untuk mendirikan Ka’bah di kota kecil tersebut. Ka’bah sendiri berarti tempat dengan penghormatan dan prestise tertinggi.
Ka’bah yang didirikan Ibrahim terletak persis di tempat Ka’bah lama yang didirikan Nabi Adam hancur tertimpa banjir bandang pada zaman Nabi Nuh. Adam adalah Nabi yang pertama kali mendirikan Ka’bah.
Tercatat, 1500 SM adalah merupakan tahun pertama Ka’bah kembali didirikan. Berdua dengan putranya yang taat, Ismail, Ibrahim membangun Ka’bah dari bebatuan bukit Hira, Qubays, dan tempat-tempat lainnya.
Bangunan mereka semakin tinggi dari hari ke hari, dan kemudian selesai dengan panjang 30-31 hasta, lebarnya 20 hasta. Bangunan awal tanpa atap, hanyalah empat tembok persegi dengan dua pintu.
Celah di salah satu sisi bangunan diisi oleh batu hitam besar yang dikenal dengan nama Hajar Aswad. Batu ini tersimpan di bukit Qubays saat banjir besar melanda pada masa Nabi Nuh.
Batu ini istimewa, sebab diberikan oleh Malaikat Jibril. Hingga saat ini, jutaan umat Muslim dunia mencium batu ini ketika berhaji, sebuah lelaku yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad.
Selesai dibangun,  Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyeru umat manusia berziarah ke Ka’bah yang didaulat sebagai Rumah Tuhan. Dari sinilah, awal mula haji, ibadah akbar umat Islam di seluruh dunia.
Karena tidak beratap dan bertembok rendah, sekitar dua meter, barang-barang berharga di dalamnya sering dicuri. Bangsa Quraisy yang memegang kendali atas Mekkah ribuan tahun setelah kematian Ibrahim berinisiatif untuk merenovasinya. Untuk melakukan hal ini, terlebih dahulu bangunan awal harus dirubuhkan.
Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy adalah orang yang pertama kali merobohkan Ka’bah untuk membangunnya menjadi bangunan yang baru.
Pada zaman Nabi Muhammad, renovasi juga pernah dilakukan pasca banjir besar melanda. Perselisihan muncul di antara keluarga-keluarga kaum Quraisy mengenai siapakah yang pantas memasukkan Hajar Aswad ke tempatnya di Ka’bah.
Rasulullah berperan besar dalam hal ini. Dalam sebuah kisah yang terkenal, Rasulullah meminta keempat suku untuk mengangkat Hajar Aswad secara bersama dengan menggunakan secarik kain. Ide ini berhasil menghindarkan perpecahan dan pertumpahan darah di kalangan bangsa Arab.
Renovasi terbesar dilakukan pada tahun 692. Sebelum renovasi, Ka’bah terletak di ruang sempit terbuka di tengah sebuah mesjid yang kini dikenal dengan Masjidil Haram. Pada akhir tahun 700-an, tiang kayu mesjid diganti dengan marmer dan sayap-sayap mesjid diperluas, ditambah dengan beberapa menara. Renovasi dirasa perlu, menyusul semakin berkembangnya Islam dan semakin banyaknya jemaah haji dari seluruh jazirah Arab dan sekitarnya.
Wajah Masjidil Haram modern dimulai saat renovasi tahun 1570 pada kepemimpinan Sultan Selim. Arsitektur tahun inilah yang kemudian dipertahankan oleh kerajaan Arab Saudi hingga saat ini.
Pada penyatuan Arab Saudi tahun 1932, negara ini didaulat menjadi Pelindung Tempat Suci dan Raja Abdul Aziz adalah raja pertama yang menyandang gelar Penjaga Dua Mesjid Suci, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Pada pemerintahannya, Masjidil Haram diperluas hingga dapat memuat kapasitas 48.000 jemaah, sementara Masjid Nabawi diperluas hingga dapat memuat 17.000 jemaah.
Pada pemerintahan Raja Fahd tahun 1982, kapasitas Masjidil Haram diperluas hingga memuat satu juta jemaah. Renovasi ketiga selesai pada tahun 2005 dengan tambahan beberapa menara. Pada renovasi ketiga ini, sebanyak 500 tiang marmer didirikan, 18 gerbang tambahan juga dibuat. Selain itu, berbagai perangkat modern, seperti pendingin udara, eskalator dan sistem drainase juga ditambahkan.
Saat ini, pada masa kepemimpinan Raja Abdullah bin Abdul-Aziz, renovasi keempat tengah dilakukan hingga tahun 2020. Rencananya, Masjidil Haram akan diperluas hingga 35 persen, dengan kapasitas luar mesjid dapat menampung 800.000 hingga 1.120.000 jemaah. Jika rampung, bagian dalam Masjidil Haram akan dapat menampung hingga dua juta jemaah.
Banjir Ka’bah
Bencana alam yang mungkin sering terjadi di wilayah Mekkah adalah banjir. Terbesar tentu saja pada masa banjir bandang Nabi Nuh. Kala itu seluruh bangunan Ka’bah runtuh. Banjir juga terjadi beberapa kali di masa Nabi Muhammad. Sepeninggalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, banjir merusak dinding-dinding Ka’bah.
Salah satu banjir yang sempat terdokumentasikan adalah banjir besar pada tahun 1941. Dalam gambar yang dipublikasikan secara luas, terlihat bagian dalam Masjidil Haram terendam banjir hingga hampir setengah tinggi Ka’bah.
Di beberapa tempat bahkan mencapai leher orang dewasa. Banjir-banjir inilah yang kemudian membuat beberapa tiang mesjid yang terbuat dari kayu menjadi lapuk dan rapuh. Kerajaan Saudi terpaksa harus melakukan perbaikan beberapa kali untuk mengatasi hal ini.
Banjir sering terjadi di Mekkah karena letak geografis kota tersebut yang diapit beberapa bukit. Hal ini menjadikan Mekkah berada di dataran rendah yang letaknya seperti mangkuk. Air hujan tidak dapat dapat mudah diserap oleh tanah, mengingat lahan Timur Tengah yang tandus. Alhasil banjir bisa berlangsung selama beberapa lama. Ditambah lagi, sistem drainase kala itu tidak sebaik sekarang.
Selain banjir, berbagai insiden pertumpahan darah tercatat pernah mewarnai sejarah Masjidil Haram. Mulai dari zaman sebelum Nabi Muhammad lahir hingga ke zaman modern di abad ke 20. Beberapa insiden tersebut diakhiri dengan kemenangan para penguasa Ka’bah.
Serangan Gajah
Serangan terhadap Ka’bah yang paling terkenal terjadi pada tahun 571 Masehi, tahun kelahiran Nabi Muhammad. Kala itu, sebanyak 60.000 pasukan gajah yang dipimpin oleh Gubernur Yaman, Abrahah, berencana menyerbu Mekkah dan menghancurkan Ka’bah.
Negara Yaman adalah salah satu negara Kristen besar kala itu. Sebuah gereja besar yang indah didirikan pada pemerintahan Raja Yaman, Habshah. Gereja tersebut bernama Qullais. Abrahah sebagai pembina gereja bersumpah akan memalingkan pemujaan warga Arab dari Ka’bah di Mekkah ke gerejanya di Yaman.
Alkisah, mendengar hal ini, seorang Arab dari qabilah Bani Faqim bin Addiy tersinggung kemudian masuk ke dalam gereja dan membuang hajat di dalamnya. Abrahah marah luar biasa dan bersumpah akan meruntuhkan Ka’bah. Berangkatlah dia beserta tentara terkuatnya, menunggang 60.000 ekor gajah.
Tidak ada satupun kekuatan kabilah Arab Saudi yang mampu menandingi kekuatan puluhan ribu tentara gajah tersebut. Berdasarkan komando dari kakek Muhammad, Abdul Mutalib, para penduduk Mekkah mengungsi ke puncak-puncak bukit di sekeliling Ka’bah. Berangkatlah rombongan tentara Abrahah menuju Ka’bah, hendak menghancurkan bangunan mulia tersebut.
Menurut kisah, laju tentara gajah terhenti akibat serangan dari ribuan burung Ababil. Burung-burung ini membawa tiga butir batu panas di kedua kakinya dan paruhnya. Dilepaskannya batu-batu tersebut di atas tentara gajah. Batu yang konon berasal dari neraka itu menembus daging para tentara dan gajah-gajah mereka. Sebuah tafsir mengatakan burung-burung itu membawa penyakit cacar yang menyebabkan para tentara Abrahah tewas akibat bisul yang sangat panas.
Inilah sebabnya, tahun penyerangan tentara Abrahah ke Mekkah dinamakan sebagai Tahun Gajah. Kisah ini juga tertulis jelas di surat Al Fiil di kitab suci Al-Quran. “Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (Al Fiil: 3-4).
Bentrok dengan Iran
Di zaman modern, insiden paling sering adalah bentrok aparat keamanan Arab Saudi dengan para demonstran asal Iran. Kehadiran para demonstran merupakan perintah dari pemerintah Iran agar para jemaah haji Iran menyampaikan protes terhadap kerajaan Saudi.
Kerusuhan terparah terjadi pada 31 Juli 1987 yang menewaskan 401 orang. Di antaranya adalah 275 warga Iran, 85 warga Arab Saudi, dan 42 jemaah haji asal negara lain. Sebanyak 643 orang terluka, kebanyakan adalah jemaah haji Iran.
Perseteruan antara Arab Saudi dengan Iran sudah berlangsung relatif lama. Dimulai saat Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama Salaf kenamaan Arab Saudi, memerintahkan penghancuran beberapa makam yang dikultuskan umat Islam di Hejaz, termasuk makam ulama Syiah Al-Baqi, pada tahun 1925.
Tindakan ini tidak ayal membuat marah pemerintahan dan rakyat Iran yang mayoritas Syiah.  Kemelut pun dimulai, Iran menyerukan penggulingan pemerintahan di Arab Saudi dan melarang seluruh warga Iran pergi haji pada tahun 1927.
Ketegangan bertambah parah setelah pada tahun 1943, pemerintah Arab Saudi memenggal kepala seorang jemaah haji Iran karena membawa kotoran manusia di pakaiannya ke dalam Masjidil Haram di Mekkah.
Iran protes keras dan melarang warganya pergi haji hingga tahun 1948.
Sejak saat itu, demonstrasi jemaah haji Iran terus dilakukan di Mekkah. Ini berkat imbauan Ayatullah Khomeini pada tahun 1971 yang memerintahkan setiap jemaah haji Iran untuk berhaji sambil menyampaikan pandangan politik mereka terhadap pemerintah Arab Saudi. Para jemaah Iran menyebut demonstrasi ini dengan nama “Menjaga Jarak dengan Para Musryikin.”
Pada tahun 1982, situasi kedua negara sempat tenang. Khomeini memerintahkan rakyatnya menjaga ketertiban dan perdamaian, tidak menyebarkan pamflet-pamflet propaganda, dan untuk tidak mengkritik pemerintahan Arab Saudi.
Sebagai balasannya, kerajaan Arab Saudi membebaskan jemaah haji Iran untuk kembali berhaji. Sebelumnya, Saudi membatasi jumlah jemaah haji asal Iran untuk menghindari konflik.
Ketegangan kembali terjadi pada Jumat, 31 Juli 1987. Para jemaah haji Iran melakukan pawai protes menentang para musuh Islam, yaitu Israel dan Amerika Serikat, di kota Mekkah. Ketika sampai di depan Masjidil Haram, mereka diblokir oleh aparat keamanan Arab Saudi, namun mereka tetap memaksa masuk.
Bentrokan berdarah kemudian terjadi yang mengakibatkan situasi kacau dengan beberapa orang terinjak-injak oleh massa yang panik.
Ada beberapa versi pemicu kematian ratusan orang pada insiden ini. Pemerintah Iran mengatakan, aparat keamanan Saudi melepaskan tembakan ke arah demonstran damai, sementara Arab Saudi mengatakan bahwa korban tewas akibat terjepit dan terinjak jemaah yang panik. Akibat hal ini, hubungan kedua negara kembali renggang dan pemerintah Arab Saudi kembali menerapkan pembatasan jemaah haji Iran.
Mahdi Palsu
Peristiwa berdarah lainnya terjadi pada 20 November 1979. Kala itu ratusan orang bersenjata menguasai Masjidil Haram dan menyandera puluhan ribu jemaah haji di dalamnya.
Penyanderaan dipimpin oleh Juhaimin Ibnu Muhammad Ibnu Saif al-Otaibi yang mengatakan saudara iparnya, Muhammad bin Abd Allah Al-Qahtani, adalah Imam Mahdi atau sang penyelamat akhir zaman.
Dilaporkan sebanyak 400-500 militan Otaibi, termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak, mengeluarkan senjata yang mereka sembunyikan di balik baju dan merantai gerbang Masjidil Haram. Mereka memerintahkan para jemaah untuk tunduk kepada Mahdi palsu, Al-Qahtani. Penyanderaan berlangsung selama dua minggu, sebelum akhirnya para militan diberantas oleh pasukan bersenjata gabungan antara Arab Saudi dengan beberapa negara.
Pasukan Arab Saudi sempat dipukul mundur karena hebatnya persenjataan para militan. Seluruh warga Mekkah dievakuasi ke beberapa daerah.
Pasukan kerajaan siap melakukan gempuran mematikan. Namun, mereka harus meminta izin dari ulama besar Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, yang telah  melarang segala jenis kekerasan di Masjidil Haram. Akhirnya dia mengeluarkan fatwa penyerangan mematikan untuk mengambil alih Ka’bah.
Dilaporkan 255 jemaat haji dan militan Otaibi tewas dalam penyerangan tersebut, sebanyak 560 orang terluka. Dari sisi tentara Arab Saudi, sebanyak 127 tewas dan 451 terluka.
Berbagai cerita berbeda mengisahkan saat-saat penyerangan oleh tentara gabungan Arab Saudi, Pakistan dan Perancis.
Salah satu laporan mengatakan tentara membanjiri Masjidil Haram dengan air dan mengalirinya dengan listrik, menyetrum para militan. Laporan lainnya mengatakan para tentara menggunakan gas beracun. Pasukan Perancis dipanggil karena pasukan Arab Saudi tidak berdaya.
Tentara Perancis ini dikabarkan menjadi Muslim dahulu sebelum masuk Masjidil Haram. Langkah ini mereka lakukan lantaran Masjidil Haram hanya boleh dimasuki oleh umat Muslim. Allahu a’lam. (berbagai sumber)

Senin, 18 November 2013

Sejarah Situ Gede Tasikmalaya

SEJARAH SITU GEDE DAN EYANG PRABUDILAYA
SITU GEDE

Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya.
Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput.
“Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru
Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah,
“Terimakasih, Eyang Guru”
“Sekarang duduklah, Raden”
Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “ Lulus Raden”
Ketika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat,
“ Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata Eyang Guru sambil menatap muridnya”
“Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksana”
Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,
“Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?
Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
“Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama”
“Terimakasih Eyang guru”
Sang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkata
“Saya mohon pamit, Raden”
“Silahkan, terimakasih, Eyang”
“Sampurasun”
“Rampes”.
**
Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.
“Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu”
“Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, Raden”
Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya,
“Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmu”
Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan :
“Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia”
Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.
II
Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim.
Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.
Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang.
Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:
“Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lain”
Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :
“Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.
“Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap.
“Dengan senang hati Kyai”
“Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua”
Prabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu,
“Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua”
“Terimakasih Raden”
Tidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai).
Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak, Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya
III
Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit cerah berbintang.
Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa:
“ Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:
“Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan, penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri”
“Sungguhkan ?” Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnya
“Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri
“Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?”
“Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.
Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung.
Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :
“Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?”
“Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan”
“Seandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.
“Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru”
Dialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama.
Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM ( beureum = merah)
Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.
Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat tanah)
Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.
Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :
“Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu”
“Baiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.
Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.

IV
Semenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (=singa yang luka parah)
Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.
Tangispun tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya.
Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan :
“ mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen ) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang lantaranana sugan ti dinya.”
Semoga kalian bersedia untuk dititipi anak saya yang dimakamkan di pulau itu, namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang tampu ke prabuan di Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan saya memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya kepada Allah SWT semoga sareatnya dari sana”
Setelah itu beliau pulang ke Sumedang.